Kamis, 26 Juni 2014

Posisi Taiwan dalam Politik Luar Negeri China

TUGAS RESUME KELOMPOK 8
Anggota          : Redita Adenisty (2011230006)
                        : Rizko Prihandono
                        : Fransisca Shintawati K. (2011230072)
                        : Dwi Mulwanti (2011230081)
                        : Annisa Cinde K. (2011230084)

 



Posisi Taiwan dalam Politik Luar Negeri China

1. Latar Belakang Sejarah China-Taiwan
Menurut kelompok kami, presentasi dari kelompok lima tidak menjabarkan hubungan China dengan Taiwan pada masa sebelum diadakannya proses unifikasi. Dalam review kelompok, kami menjelaskan latar belakang sejarah Cina dan Taiwan dimana dahulu Taiwan pernah bersatu dengan Cina dalam aspek topografi. Dalam sejarahnya, kelompok lima tidak menjelaskan bagaimana awal mula konflik antara China dengan Taiwan dan  bagaimana hubungan antara Taiwan dengan China saat konflik.
Dalam aspek topografi di masa zaman kuno, Pulau Taiwan memang menyatu dengan China daratan. Akan tetapi, karena disebabkan oleh pergerakan bumi, bagian yang menjadi penghubung itu turun dan berubah menjadi selat, maka Taiwan turut menjadi pulau. Pulau kecil di timur pulau Hainan ini lebih dikenal sebagai China Taipei. Sebutan China Taipei ini sendiri sebenarnya untuk menggambarkan lebih jelas akan posisi Taiwan itu sendiri.
Kata “China”, untuk menggambarkan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari China, dan kata “Taipei” untuk menunjukkan identitas Taiwan yang beribukota di Taipei. Terdapatnya banyak benda budaya yang ditemukan di berbagai tempat di Taipei, Taiwan, yang diantaranya alat dari batu, keramik hitam dan keramik berwarna membuktikan bahwa kebudayaan Taiwan sebelum adanya catatan sejarah, memang sama dengan kebudayaan yang ada di China daratan.
Sejarah Taiwan mulai dicatat pada pertengahan abad ke-17, yaitu pada saat Taiwan dijajah oleh Belanda. Pulau yang lebih dikenal sebagai pulau Formosa ini menjadi salah satu pulau tempat pangkalan militer Belanda. Akan tetapi, penjajahan Belanda tidaklah bertahan lama setelah seorang loyalis Dinasti Ming bernama Cheng Cheng-Kung membebaskan Taiwan dan mendirikan Kerajaan Tungning (1662-1683) yang beribukota di Tainan. (Kemenhan Taiwan: Militer Latihan Serangan Gaya Hari-H China: http://kompas.com )
Selanjutnya, Taiwan kembali menjadi rebutan. Dinasti Qing atau biasa disebut sebagai Dinasti Manchuria berusaha untuk menjadikan Taiwan sebagai bagiannya. Serangan Dinasti Qing yang berasal dari daratan Tiongkok di bawah pimpinan Laksamana Shi Lang, terus menerus dijalankan. Sampai Akhirnya Dinasti Qing berhasil merebut Taiwan dari Kerajaan Tungning, dan menguasainya hingga Jepang menyerang pada tahun 1895.
Taiwan terus berada di bawah protektorat Jepang hingga Perang Dunia II berakhir. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Taiwan kemudian dikembalikan kepada pemerintah Republik China, pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Dr. Sun Yat Sen yang juga merupakan ketua partai Kuomintang, merupakan pendiri Republik China di Nanjing.
Akan tetapi, posisi Taiwan kembali berubah ketika terjadi perang saudara di China daratan antara Partai Nasionalis Kuomintang dan Partai Komunis. Perang yang berakhir di tahun 1949 ini dimenangkan oleh kubu komunis yang kemudian membuat Kuomintang tergusur dan lari ke Taiwan. Di Taiwan, Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek kemudian mendirikan pemerintahan yang tetap diberi nama Republik China. Chiang Kai-shek mendirikan pemerintahan ini dengan tujuan untuk tetap mempertahankan filosofis nasionalis, dan berusaha membangun kekuatan untuk pada akhirnya kembali merebut China daratan.

1.      Konflik China-Taiwan
Sebelumnya, Taiwan lebih dikenal dengan nama Pulau Formosa. Formosa sempat jatuh ke masa pendudukan Jepang hingga tahun 1945. Jepang kemudian mengembalikan Formosa kepada China karena harus menerima hukuman kekalahan Perang Dunia II. Pada tahun 1949, ketika Mao Zedong meresmikan berdirinya People’s Republic of China (PRC), Taiwan termasuk sebuah provinsi di dalamnya (Dumbaugh, 2009: 1).
Masalah yang kemudian muncul adalah ketika terjadi perselisihan politik di China antara Mao Zedong dari partai Komunis dan Chiang Kai Shek dari partai Kuomintang. Ketika Mao memenangkan pemilu pada 1 Okober 1949, Chiang Kai Shek pergi ke Taiwan dan mendirikan Republic of China (ROC) di Taipei dan berjanji akan merebut China dari tangan Komunis suatu hari nanti (Dumbaugh, 2009: 1).
Di bawah kepemimpinan Chiang Kai Shek inilah Taiwan mulai melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat, yang pada tahun 1950 menghasilkan US-ROC Mutual Defense of Treaty untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional dan menjadi basis anti sino-soviet communism. Sayangnya, pada tahun 1972, US justru mengakui PRC sebagai negara yang berdaulat akibat adanya perjanjian Shanghai Communiqué (Dumbaugh, 2009: 2-3). Inilah yang pada akhirnya membuat Taiwan hanya diakui sebagai provinsi bagian dari China. Akibatnya, tensi antara China dan Taiwan semakin meningkat dan kerap terjadi kontak militer di selat Taiwan. Dalam hal ini, Taiwan bersikukuh untuk tidak bersedia menyatukan dirinya dengan China. Sementara itu, China terus melakukan tekanan-tekanan terhadap Taiwan untuk menyetujui adanya reunification one-China.
Ketegangan kemudian sedikit mereda ketika Taiwan mulai memberikan lampu hijau untuk perdamaian keduanya. Presiden Ma Ying Jeou berusaha meningkatkan interaksi dan integrasi ekonomi Taiwan Strait dengan harapan tercapainya pendekatan politik dan persetujuan perdamaian antara Taipe dan Beijing (Keng and Schubert, 2010: 287). Ini merupakan kelanjutan dari adanya perjanjian untuk mengurangi kekerasan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak pada tahun 2005 (Rigger, 2006: 1). Desakan China untuk melakukan reunifikasi tidak terlepas dari kepentingan ekonomi yang tumbuh cukup pesat di Taiwan. China mungkin menyadari akan terjadi kehilangan yang luar biasa apabila melepaskan Taiwan begitu saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Keng dan Schubert (2010: 289).
Mengenai proses reunifikasi Taiwan dan China, Keng dan Schubert (2010: 310) berpendapat bahwa hal ini memang berdampak sangat baik bagi China. Namun, di sisi lain dapat memberikan efek positif dan negatif bagi Taiwan. Efek negatif yang mungkin terjadi adalah apabila diskusi mengenai integrasi ekonomi dan sosial tidak terkontrol, maka banyak investasi masyarakat Taiwan di China daratan, yang tidak bisa diprediksikan masa depannya. Apabila nantinya di China terjadi pemampatan pasar kapital domestik, hal ini akan berdampak pada inflasi yang tinggi di Taiwan karena tentunya akan terjadi migrasi pekerja China ke Taiwan yang akan membuat pekerja Taiwan terdesak. Sehingga, selain menimbulkan efek ekonomi yang berbahaya, akan berujung pula gesekan sosial di masyarakat.
Hubungan Taiwan-China yang masih menggantung ini tentunya memberikan dampak pada hubungan luar negeri Taiwan, dimana hubungan tersebut kemudian tidak diakui sebagai hubungan diplomatik tetapi hanya sebagai hubungan dagang atau ekonomi biasa. Hal ini dikarenakan Taiwan masih dipandang sebagai wilayah bagian dari China dan tidak memiliki kedaulatan negara sendiri. Selain akibat hubungan fluktuatifnya dengan China, dinamika perpolitikan Taiwan tidak terlepas dari peran pihak asing utamanya Jepang dan Amerika Serikat yang sempat menjalin hubungan dengan Taiwan dalam jangka waktu yang lama. Pengaruh Amerika Serikat kepada Taiwan ini jelas sekali terlihat dalam sistem politik dan ekonomi Taiwan yang berbasis Demokrasi Liberal. Pembagian kekuasaan di Taiwan, yakni kepala pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden dengan masa jabatan 4 tahun yang mengawasi Yuan Eksekutif (terdiri dari Perdana Menteri dan anggota kabinet), Yuan Perwakilan, Yuan Kehakiman dan Yuan Pengawas; dan memiliki dewan Perwakilan dengan masa jabatan selama 3 tahun, dengan proses pembuatan konstitusi yang dilakukan oleh Yuan Perwakilan dan pemilih dari kalangan rakyat (Triharso, nd). Dengan sistem politik ini, maka Taiwan memiliki potensi untuk mengembangkan industri, manufaktur, teknologi informasi dan memperbesar Foreign Direct Investment (FDI), sebagaimana yang dikatakan Eriksson (2005: 58)




2.      Hubungan China-Taiwan Pasca Konflik
Disini kami menambahkan bagaiman hubungan China dan Taiwan pasca konflik, karena kelompok 5 tidak menjelaskan bagaimana hubungan China dan Taiwan pasca konflik. Sejak berakhirnya Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet awal 1990-an, ketegangan politik antara China dan Taiwan tetap menjadi isu panas dan serius di level mondial atau secara khusus di kawasan Asia Timur.
Pada tahun 2008, China-Taiwan telah menorehkan sejarah penting dengan adanya peristiwa penerbangan sebuah pesawat asal Guangzhou, China, yang mendarat secara langsung di Taipei, Taiwan, untuk pertama kali setelah 60 tahun vakum. Penerbangan itu juga menepis kecemasan akan pecahnya konflik di antara kedua negara. Skenario politik Republik China di Taiwan sekarang terbagi antara dua pihak dengan pihak Pan-Biru diketuai partai KMT dan dianggotai Partai Rakyat Utama (PFP) dan Partai Baru (NP) yang berpendirian pro-penyatuan semula dengan China sementara pihak Pan-Hijau diketuai Parti Progresif Demokrat (DPP) dan dianggotai Uni Persekutuan Taiwan (TSU) yang berpendirian pro-Merdeka. Para penyokong pihak Pan-Hijau menuntut kemerdekaaan Taiwan secara total dan formal dan menekankan Taiwan sebagai entitas berlainan dari China. Nama 'Republik China' juga dicemooh dan dikatakan tidak ada. Kendatipun begitu, anggota Pan-Hijau yang lebih progresif mengatakan tidak perlu untuk menyatakan kemerdekaan secara formal karena Taiwan sekarang 'telah menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat'. Sebagian anggota kelompok Pan-Hijau ini telah bertindak dengan lebih ekstrem dan menerbitkan paspor untuk negara yang didakwa bernama "Republik Taiwan" itu.
Namun, tidak pernah ada kecemasan akan meledaknya konflik atau perang antara China versus Taiwan. Ini didukung fakta meski di tataran politik China-Taiwan bermusuhan, tetapi jangan lupa di sektor ekonomi, khususnya dalam hal bisnis dan investasi, keduanya justru bisa saling bermitra. Ini tidak boleh dilupakan. Sejak tahun 2002, China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi Taiwan. Hubungan perdagangan kedua pihak selama tahun 2006 naik 15,4 persen menjadi 88,12 miliar dollar AS.
Dalam tataran budaya, Pemerintah China tidak pernah menutup pintu bagi warga Taiwan yang ingin berkunjung ke tanah leluhur, demikian juga sebaliknya. Jadi dalam level ekonomi atau kebudayaan, seolah tidak pernah ada konflik diantara keduanya.

3.      Peran Presiden Ma Ying-jeou
Apalagi dengan tampilnya sosok Ma Ying-jeou sebagai Presiden Taiwan sejak 20 Mei 2008 lalu. Ma dan rekannya, Vincent Siew—kini menjabat wakil presiden—menang dalam pemilihan presiden, 22 Maret lalu. Mereka mengantongi 58,45 persen suara. Sebagai presiden ketiga yang dipilih secara demokratis, Ma sejak awal kampanye bertekad memulihkan hubungan Taiwan dan China daratan serta merevitalisasi perekonomian. Pembukaan rute penerbangan langsung China-Taiwan merupakan realisasi janji Ma yang agaknya sudah muak dengan segala hal yang bersifat politik terkait relasi China-Taiwan. Agaknya Ma belajar banyak dari presiden yang digantikan, Chen Shui-bian. Meski bertahan delapan tahun, sepak terjang Chen yang prokemerdekaan justru tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat Taiwan. Sebaliknya, sikap keras pemerintahan Chen kerap memicu konflik dengan China daratan.
Maka, bagi Ma, China-Taiwan lebih baik bekerja sama, mengingat keduanya mewarisi filosofi, tradisi, dan nilai kebudayaan yang sama. Sejak kecil Ma, yang kelahiran Hongkong amat doyan ajaran dan filosofi para filsuf klasik China, seperti Lao Tse, yang begitu menekankan pentingnya harmoni dalam kehidupan. Namun, upaya Ma menjalin kerja sama dalam harmoni dengan China daratan membuat sebagian kecil warga Taiwan diliputi kecemasan. Yang ditakutkan, para pelaku ekonomi asal China akan kembali menguasai Taiwan lewat jalur ekonomi. Tetapi Ma menjamin dia tidak akan menggadaikan Taiwan. Ma hanya yakin jika China dan Taiwan bisa bermitra secara sejajar, otomatis martabat Taiwan akan terangkat dengan sendirinya di mata dunia internasional.
Menurut Ma, dalam pidato pertamanya, normalisasi hubungan ekonomi dan budaya antara China dan Taiwan merupakan solusi paling masuk akal dan sama-sama menguntungkan. Konflik atau ketegangan politik terbukti tak pernah memberikan kontribusi apa pun.

4.      Kesimpulan
Menurut kelompok kami, hingga saat ini, dunia internasional masih memandang Taiwan sebagai sebuah wilayah yang menjadi bagian dari negara China. Padahal, masyarakat Taiwan sendiri sudah lama mengklaim dirinya merupakan wilayah merdeka yang berada di luar China. Hal ini dikarenakan Taiwan tidak menghendaki pemberlakuan sistem pemerintahan otoriter yang diterapkan oleh Mao Zedong kepada China, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Taiwan. Akibat adanya clash tersebut, political forces di Taiwan terbagi menjadi dua, yakni kelompok radikal dan moderat (Sutter, 2008: 201).
Kesejahteraan ekonomi pada akhirnya membentuk pola pikir masyarakat Taiwan yang bebas dan menghargai pluralitas. Inilah yang membuat masyarakat secara perlahan hidup di bawah pemerintahan yang jauh lebih demokratis (Lau, 2002 dalam stanford.edu, diakses pada 9 Mei 2013). Seiring berkembangnya waktu, AS tidak hanya berpengaruh pada perkembangan ekonomi politik dalam intern Taiwan. Keberadaan AS yang masih dipandang sebagai hegemon juga hadir di tengah-tengah usaha reunifikasi Taiwan dan China. Beberapa pihak di China justru memandang oposisi Amerika dalam usaha reunifikasi tersebut dengan alasan apabila Taiwan telah resmi menyatukan diri dengan China maka Amerika akan mengalami kesulitan untuk mengakses investasi di Taiwan.
Sehingga dalam hal ini, Amerika dianggap lebih mendukung Taiwan untuk merdeka yang tentunya menjadi resistensi bagi hubungan China dan Taiwan (Kennedy, 2007: 286). Adanya pandangan ini, membuat Amerika lebih berhati-hati dalam bertindak. Kennedy (2007: 287) juga menyatakan,”Before undertaking a comprehensive effort to reduce Chinese anxieties the U.S. government should develop a clearer view of its long-term goals on the Taiwan issue.”. Oleh karena itu, the U.S. has a policy, but not a strategy, toward Taiwan (Kennedy, 2007: 287).
Adanya pandangan ini, membuat Amerika lebih berhati-hati dalam bertindak. Kennedy (2007: 287) juga menyatakan,

”Before undertaking a comprehensive effort to reduce Chinese anxieties the U.S. government should develop a clearer view of its long-term goals on the Taiwan issue.”. Oleh karena itu, the U.S. has a policy, but not a strategy, toward Taiwan (Kennedy, 2007: 287).

Sementara itu, pengaruh Jepang terhadap Taiwan sejatinya lebih banyak berdampak pada perkembangan ekonomi daripada politik. Masyarakat Taiwan yang pada mulanya memberikan konsentrasi pada hasil pertanian mengalami pergeseran menuju perkembangan industri pada kisaran tahun 1895 hingga 1845. Jepang kemudian membangun infrastruktur di Taiwan untuk mempermudah dan memperlancar kelangsungan produksi yang nantinya juga akan berpengaruh pada peningkatan ekonomi di Jepang (Triharso, n.d.). Pendudukan Jepang ini juga menjadikan ekonomi Taiwan yang mengarah pada sistem Kapitalis.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa berdirinya Taiwan sebagai entitas hubungan internasional tidak terlepas dari negara-negara yang pernah dan masih menjalin hubungan dengan Taiwan. Beberapa diantaranya adalah China, yang hingga saat ini sedang mengusahakan rekonsiliasi dan reunifikasi dengan Taiwan. Ada juga Amerika Serikat yang mempengaruhi Taiwan melalui ideologi demokratis liberalisnya sehingga membentuk pola pikir dan ekonomi masyarakat yang pluralis, bebas dan kapitalis. Sementara itu Jepang lebih memperi pengaruh pada kapitalisasi ekonomi selama masa pendudukannya pada abad ke 19 dan 20.
Terlihat banyak sekali kepentingan asing yang ada dalam dinamika politik Taiwan. Secara ekonomi Taiwan telah berkembang pesat dan mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya. Selain itu, Taiwan juga memperoleh kepercayaan internasional atas potensi investasi di dalam Taiwan. Namun, Taiwan juga perlu untuk segera menentukan status perpolitikannya agar segala sistem dapat berjalan sesuai dengan harapan. Mengenai reunifikasi ini, Taiwan dan China diyakini mampu berdiskusi lebih dalam untuk tidak saling egois dan saling menghargai kepentingan masing-masing. 

  
 Daftar Pustaka

1.      Ding, Arthur S. 2008. "Whither Taiwan-China Relations?" dalam China Security, Vol. 4, No. 1 Winter 2008. World Security Institute.
2.      Dumbaugh, Kerry.2008. "Tibet: Problems, Prospects, and U.S. Policy dalam CSR Report for Congress. Diakses dari www.cfr.org
3.      Kennedy, Bingham. 2007.  China's Perceptions of U.S. Intentions toward Taiwan: How Hostile a Hegemon? dalam Asian Survey, Vol. 47, No. 2. California: University of California Press.,, pp. 268-287.
4.      Lau, Lawrence J. 2002. Taiwan as a Model for Economic Development. Stanford: Stanford University, diakses pada 17 Oktober 2013 dari
5.      http://www.stanford.edu/~LJLAU
6.      nn. 2011. Kemenhan Taiwan: Militer Latihan Serangan Gaya Hari-H China: http://kompas.com
7.      Rigger, Shelley. 2006. Taiwan Rising Rationalism: Generations, Politics and “Taiwanese Nationalism”. Washington: East-West Center., pp. 1-73.
8.      Sutter, Robert G. 2008. Chinese Foreign Relation: Power and Policy since the Cold War. Maryland: Rowman and Littlefield Publisher.inc.

9.      Triharso, Ajar. n.d. Republic China-Taiwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks before for ur comment, guys.. ^o^